SINOPSIS
Tjokroaminoto (Reza Rahadian) yang lahir sebagai anak dari pegawai
pemerintah mulai merasa gelisah ketika melihat rakyat Indonesia disebuah
perkebunan kapas ditindas secara semena-mena oleh pemerintahan kolonial
Belanda. Cerita pun berlanjut ketika Tjokro dididik di pesantren dan selalu
mengingat perkataan gurunya bahwa seseorang harus selalu Hijrah. Hijrah dalam
artian pindah dari tempat yang buruk ke tempat yang lebih baik, atau pindah
dari pola pikir buruk ke pola pikir yang baik dan seterusnya. Meski Tjokro ketika menjadi pemuda telah
bekerja dengan pemerintah Belanda sebagai pegawai administrasi perkebunan
kapas, ia tidak dapat menutupi rasa kesalnya terhadap kesewanangan Belanda dan
pada akhirnya ia diberhentikan karena dianggap bertindak membangkang. Meski
mendapat tentangan dari mertuanya yang merupakan pegawai negeri, Tjokro pun
memutuskan pindah ke berbagai kota untuk mencari jawaban-jawaban dari
permasalahan di tanah air. Pada akhirnya ia pun memutuskan tinggal di Surabaya
yang merupakan lokasi strategis dari perjuangan mencapai kemerdekaan. DI kota
inilah ia menemui berbagai orang-orang yang kelak menjadi tokoh-tokoh penting
pergerakan kemerdekaan Indonesia melalui organisasi Sarekat Islam untuk
memperjuangkan Indonesia yang adil dan sejahtera. Ia pun berjuang secara politik, ekonomi maupun media
bersama beberapa tokoh dan “anak-anak
didiknya” seperti Agus Salim, Musso, Semaun, Kusno (Soekarno) dll. Cobaan
berat dan pasang surut pun ia hadapi. Ditangkap berkali-kali oleh pemerintah
Belanda, tuduhan sebagai kaki tangan Belanda dan kisruhnya Sarikat Islam harus
ia hadapi dalam memperjuangkan tujuan mulia tersebut.
OPINI
Dengan durasi yang cukup panjang (3 jam), film ini berhasil
menggambarkan keadaan sosial, budaya dan politik secara cukup mendetail pada
masa tersebut. misalnya dengan memperlihatkan seorang tokoh yang pada awalnya
selalu tunduk ketika berhadapan dengan orang Belanda, dan setelah mendengar
pidato Tjokro tentang manusia yang setara, tokoh tersebut mulai tidak
membungkuk terhadap Belanda. Latar (setting) dari film ini pun disusun cukup
apik seolah benar-benar seperti pada masa tahun 1920-an. Kemudian, film ini
seolah menjadi “Avenger”nya film bertema sejarah kemerdekaan RI karena dibintangi oleh artis-artis terkenal seperti Reza Rahadian, Chelsea Islan, almarhum Didi Petet, Christine Hakim, Sudjiwo Tedjo dan lain-lain. Berbagai tokoh perjuangan tenar seperti Agus Salim, Musso, Semaun dan Kusno (Soekarno) yang saling berinteraksi, bekerja sama hingga
beberapa diantaranya berpisah jalan pun diperlihatkan pada film ini layaknya film "Avenger" yang mempersatukan tokoh Captain America, Iron Man, Hulk dan Thor. Selain itu Berbagai adegan dan dialog menitipkan
berbagai pesan yang dapat dijadikan renungan oleh para penonton dan masih
relevan dengan keadaan terkini, seperti adegan musyawarah Sarekat Islam yang
memperlihatkan belum dewasanya masyarakat membuat musyawarah kontraproduktif
dan hanya ajang mempertarungkan ego saja yang berujung pada makin menurunnya
pengikut Sarekat Islam. Tentunya hal ini relevan dengan kondisi perpolitikan di
tanah air kita tercinta ini. Selain itu, performa Reza Rahadian sebagai Tjokro (seperti biasa) apik seperti performa pada film "Habibie dan Ainun" sebagai tokoh Habibie, "Emak ingin naik haji" dll.
Pada akhirnya, film ini sangat membuka mata penulis tentang betapa susahnya para tokoh perjuangan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia baik hambatan dari penjajah Belanda maupun antar bangsa Indonesia. Seharusnya kemerdekaan yang telah dicapai oleh para tokoh pejuang tidak kita sia-siakan hanya dengan bermalas-malasan tetapi berusaha kerasa untuk terus membangun Indonesia yang penuh permasalahan menjadi lebih baik, adil dan sejahtera.
Salah satu adegan Tjokro (Reza Rahadian) dan tokoh keturunan indobelanda (Chelsea Islan) |
Tjokro saat adegan pidato. |
Komentar
Posting Komentar