F-16 52ID (sumber: jejaktapak.com) |
Notes:
- Tulisan ini bukan tulisan ilmiah dengan sumber-sumber valid, tetapi hanya perpaduan dari beberapa sumber sekunder dan analisis serta opini penulis saja
- Tulisan ini masih perlu dilengkapi dengan sumber-sumber yang lebih valid, penulis terbuka untuk saran dan masukan untuk tulisan ini.
Pengadaan F-16 Bekas
Ketika TNI AU melalui kementerian pertahanan memutuskan untuk mengakuisisi 24 pesawat tempur F-16 bekas pakai Amerika Serikat, dengan nama proyek “Peace Bima Sena II”, timbul pro kontra di berbagai kalangan di Indonesia. Keputusan ini menjadi kontroversi dan menjadi buah bibir para anggota DPR, pengamat, hingga para masyakarat yang antusias dengan isu pertahanan. “Mengapa harus membeli pesawat bekas? Kenapa tidak beli baru saja?”.
Sebelum proyek tersebut, TNI AU telah memiliki 12 pesawat F-16 A/B Block 15 OCU yang dibeli secara bertahap sejak tahun 1989. Pada tahun 2010, tawaran hibah 24 unit F-16 C/D bekas pakai US Air National Guard yang diproduksi sekitar tahun 1980-an muncul dari pemerintah Amerika Serikat. Meski hibah, pemerintah Indonesia tetap harus membayar biaya upgrade dan modifikasi sehingga kemampuan F-16 Block 25 tersebut dapat setara dengan F-16 Block 52 yang memiliki sistem avionik, radar dan mesin yang lebih canggih.
Tulisan ini tidak akan membahas lebih detail soal teknis, tetapi lebih membahas apakah keputusan ini secara umum tepat atau tidak. Untuk memahami hal ini, saya akan membahas dahulu kondisi TNI AU.
Kondisi TNI AU
Seperti yang kita tahu, wilayah udara Indonesia yang luas ini diliputi ancaman pelanggaran kedaulatan oleh pesawat-pesawat asing. Sudah beberapa kali kita ketahui bahwa pesawat-pesawat asing, baik pesawat militer dan sipil, terbang “seenaknya” melewati wilayah NKRI. Tentunya ini menjadi ancaman yang akan merugikan pertahanan dan keamanan NKRI.
Namun, TNI Angkatan Udara, yang bertugas mengawal kedaulatan udara NKRI menghadapi berbagai tantangan, yaitu, Alutsista, khususnya pesawat-pesawat tempur yang menua dan jumlahnya belum sesuai kebutuhan. Akibat keterbatasan anggaran dan embargo yang terjadi pada periode 2000an awal membuat tingkat kesiapan pesawat tempur TNI AU sangat lemah. Beberapa pesawat grounded dan saling kanibal suku cadang dan juga akibat keterbatasan anggaran, TNI AU belum dapat membeli pesawat tempur dalam jumlah signifikan yang dapat meng-cover seluruh wilayah NKRI, meskipun secara bertahap pengadaan pesawat tempur telah dilakukan pada periode 2004-2014an, yaitu pengadaan pesawat tempur Su-27/30 dan T-50 dll. Hal tersebut menyebabkan bahwa pengadaan pesawat tempur menjadi kebutuhan yang cukup mendesak. Selain itu juga, sebelum pemerintah dapat mengakuisisi pesawat tempur generasi terbaru butuh solusi untuk mengisi kekosongan tersebut.
Tantangan lainnya adalah keterbatasan anggara, masalah klasik yang selalu menghantui pemerintah Indonesia dan TNI AU. Meskipun ekonomi cukup stabil, anggaran untuk pertahanan terbilang masih cukup rendah, yaitu sekitar 0.8% pendapatan negara (standar menurut ahli minimal 2%). Keterbatasan anggaran menyebabkan daya beli pemerintah terhadap alutsista cukup rendah, sehingga membutuhkan solusi yang jitu dalam pengadaan pesawat tempur.
Faktor-faktor dalam pengadaan pesawat tempur
Dalam pengadaan pesawat tempur, ada beberapa poin yang menjadi pertimbangan, yaitu
- Kapabilitas, kemampuan pesawat tempur seperti apa yang sesuai kebutuhan TNI AU.
- Harga (harga produk, alat pendukung, pemeliharaan dll). Harga pesawat tempur yang sesuai budget pemerintah NKRI.
- Delivery time (waktu produksi hingga pengiriman). Waktu yang diperlukan agar pesawat tempur yang diakusisi sampai siap digunakan TNI AU.
- Familiarisasi ke pengguna. waktu yang dibutuhkan untuk mem-familiarisasikan/membiasakan kemampuan kepada pilot-pilot TNI AU,
Karena hal-hal tersebut maka timbul berbagai opsi.
- Pengadaan pesawat baru. Membeli pesawat baru selain F-16 (seperti Su-35, Jas39 Gripen, atau Eurofighter Typhoon, KFX/IFX).
- Pengadaan pesawat F-16 baru. Beli saja pesawat F-16 terbaru (F-16 Block 52).
- Pengadaan pesawat F-16 bekas. Akuisisi saja pesawat F-16 bekas pakai.
Alternatif opsi dan analisisnya
No
|
Opsi
|
Kapabilitas
|
Harga
|
Delivery Time
|
Familiarisasi ke pengguna
|
1
|
Pengadaan pesawat baru
|
+
|
-
|
-
|
-
|
2
|
Pengadaan pesawat F-16 baru (F-16 Block 52)
|
+
|
-
|
-
|
+
|
3
|
Pengadaan pesawat F-16 bekas
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Opsi-opsi yang muncul adalah seperti pada tabel diatas, yaitu pengadaan pesawat baru (selain F-16), akuisisi pesawat F-16 baru dan akuisisi pesawat F-16 bekas. Ketiga opsi tersebut dibandingkan dengan faktor-faktor yang disebutkan pada paragraf sebelumnya.
- Faktor kapabilitas, tentunya ketiga opsi tersebut menawarkan kapabilitas yang sesuai dengan kebutuhan TNI AU. Kapabilitas ini dipengaruhi oleh kecanggihan pesawat tempur tersebut.
- Faktor harga. Pengadaan pesawat F-16 bekas memiliki keunggulan dalam faktor harga. Sebagai perbandingan. Biaya pengadaan pesawat F-16 bekas adalah sekitar 19-20 juta USD/pesawat, sementara membeli F-16 Block 52 adalah 60-65 juta USD/pesawat. Sementara untuk pesawat baru selain F-16 pun beragam jumlahnya dan dipastikan lebih mahal (untuk pesawat yg setara F-16).
- Faktor delivery time. Pengadaan pesawat bekas pun memiliki keunggulan dalam faktor tersebut. 24 buah pesawat dapat diadakan dalam kurun waktu 2012-2017 (5 tahun setelah kontrak). Sementara jika membeli pesawat F-16 baru dalam jumlah yang sama dapat dipastikan lebih dari kurun waktu tersebut.
- Faktor Familiarisasi. Pengadaan pesawat tempur tidak seperti membeli mesin cuci, yang tinggal baca buku manual kemudian dapat langsung digunakan. Tidak hanya pesawat, familiarisasi kepada sistem pendukungnya (suku cadang, alat uji, fasilitas pemeliharaan dll) juga dibutuhkan oleh awak TNI AU. Jika membeli pesawat baru tentunya waktu familiarisasi akan lebih lama dibandingkan membeli pesawat F-16 yang sudah dimiliki TNI AU sebelumnya. Membeli F-16 baru (block 52) pun juga memiliki waktu lebih lama karena memiliki jenis mesin yang berbeda dibandingkan F-16 yang dimiliki TNI AU saat ini. Pembelian F-16 bekas (block 25 setara 52) ini memiliki mesin yang masih sama, yaitu Pratt and Whitney F100-PW-220 dengan perbedaan pada beberapa detail sistemnya.
Tepat atau tidak?
Pada akhirnya bahasan ini akan bermuara pada pertanyaan “Tepat atau tidak pengadaan F-16 bekas?”. Setiap keputusan memiliki pemerintah memiliki konsekuensinya masing-masing. Penulis berpendapat tidak ada jawaban yang tunggal, tetapi jawabannya harus dilihat dari berbagai sisi. Karena itu penulis berpendapat:
- KEPUTUSAN YANG TEPAT, tetapi hanya untuk solusi jangka pendek, yaitu pengisi celah kekosongan (gap) sampai TNI AU/Pemerintah memiliki anggaran yang cukup untuk membeli pesawat canggih yang baru dengan JUMLAH YANG SIGNIFIKAN. Poin Jumlah yang signifikan ini diperlukan, karena jika pesawat tempur secanggih apapun dibeli tetapi jumlahnya tidak memadai dan tidak tidak dapat mengcover seluruh wilayah NKRI maka akan tidak efektif mengcover seluruh wilayah NKRI.
- KEPUTUSAN YANG TIDAK TEPAT, untuk solusi jangka panjang. Membeli pesawat bekas tentunya juga memiliki problem tersendiri. Seperti yang diberitakan oleh berbagai media, F-16 bekas itu pun usia pakainya tidak panjang bahkan saat ini beberapa mengalami berbagai permasalahan teknis juga, bahkan beberapa diantaranya sampai grounded karena kerusakan parah. Penulis berpendapat, solusi terbaik untuk jangka panjang tetap pada pembelian pesawat baru yang memiliki usia pakai yang panjang dan kapabilitas yang mutakhir.
Kisah tersebut dapat dibaca pada tulisan saya di :
https://tebeahmad.blogspot.co.id/2015/11/fa-18-superhornet-pesawat-tempur-dengan.html
perkiraan roadmap TNI AU |
perkiraan roadmap US Navy |
Insiden terbakarnya salah satu F-16 52ID (antaranews.com) |
Komentar
Posting Komentar