Notes:
- Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengklaim bahwa karena saya pake taaruf maka saya orang alim, pasti masuk surga dsb.
- Tulisan ini saya harapkan dapat menawarkan alternatif metode dalam mencari pasangan hidup.
Alhamdulillah, tanggal 21 Mei
2017 saya mengucapkan akad didepan penghulu dan saksi, dan melepas status
lajang saya dengan meminang Amelia Rahma Faustina/Mili. Cukup lega juga akhirnya
saya dan istri dapat melewati fase sakral ini, milestone yang insya Allah akan
menambah keberkahan pada kehidupan kami dan sekeluarga (aminnn). Ketika saya menyebarkan undangan
H- sebulan, banyak temen-temen yang kaget, mengingat saya dikenal sebagai pria
“jones: jomblo ngenes”, “Lonely forever”, “galau”, “dengerin kahitna dan yovie
nuno melulu” yang belum ada track record menjalin hubungan dengan wanita.
Mungkin ini sedikit cerita untuk menjawab kepenasaran temen-temen semua.
(berasa artis). Semoga bisa jadi inspirasi bagi kita semua.
Walau kami bukan orang yang
“rohis banget”, alhamdulillah, kami dipertemukan melalui metode mencari
pasangan yang banyak dikenal dengan sebutan Taaruf. Mungkin menjelaskan lebih
lanjut, saya menceritakan sedikit sebelum memutuskan taaruf.
1. Sebelum memutuskan taaruf
Mungkin saya menskip saja cerita
galau2 jaman sekolah dan kuliah sebelum memutuskan taaruf ya. Haha. Saya memutuskan
untuk serius mencari pasangan hidup sekitar akhir tahun 2015. Ketika itu saya
Alhamdulillah baru menyelesaikan studi S2, dan 1 minggu setelah lulus, saya
langsung bekerja. Mulai lah saya dilanda kegalauan2 gak jelas dan juga saya
ingat kembali bahwa saya memang niat menikah setelah mendapatkan pekerjaan,
sehingga saya simpulkan: “saya harus mencari pasangan hidup”. Ikhtiar pertama
saya mencoba beberapa kali memakai cara “langsung”, saya mencoba mendekati kenalan2
yang saya suka, lalu mengutarakan keinginan saya untuk menikah. Dan semuanya
berakhir penolakan.
Pada titik itu, saya berfikir
nampaknya kalau saya to the point ke arah nikah, saya gak bisa pakai cara
tersebut,(ditambah karena saya buruk dalam pedekate dan komunikasi) karena dari
pengalaman, saya mencoba serius ke
kenalan2 tersebut, ternyata yang belom siap menikah. Karena itu, saya berniat
mencoba cara taaruf agar memang dipertemukan dengan calon yang memang siap
menikah.
Cara Taaruf sendiri, secara umum prosesnya seperti ini:
- Siap dan niat menikah. Ini dulu pertama, yang penting anda siap dan niat menikah dulu.
- Bikin Curriculum Vitae yang berisi : Profil diri dan keluarga, riwayat pendidikan dan pekerjaan, visi nikah, kriteria pasangan yang diharapkan dll).
- CV Dikirim ke mediator (bisa guru ngaji, temen, orang tua atau siapapun) yang bisa memfasilitasi ke calon-calon yang siap nikah. Atau bisa juga kalau anda sudah punya ketertarikan sama seseorang, difasilitasi ke orang tersebut.
- Saling baca CV. Kalau ada pasangan yang dianggap cocok oleh mediator, maka CV anda dan calon akan dikirimkan dan saling membaca. Jika cocok, akan dilanjutkan ke tahap pertemuan
- Pertemuan. Pada proses pertemuan, anda dan calon (difasilitasi dan ditemani oleh mediator, agar mencegah berduaan) akan dipersilahkan ngobrol-ngobrol untuk mendiskusikan apapun. Tujuannya untuk mengeksplor masing2 apakah cocok, apakah yang ditulis di CV sesuai, apakah visi misi hidupnya sesuai anda dll. Proses ini bs diadakan berkali2 (jumlahnya tergantung anda). Setelah itu, masing2 akan memutuskan apakah lanjut atau tidak. Jika lanjut masuk ke proses berikutnya. (yang menemani tidak harus mediator, bisa juga keluarga, teman , yang penting agar tidak berduaan)
- Meminang. Pada proses ini masing2 saling mengenalkan diri ke keluarga masing2 dan meminang calon untuk dinikahi. Jika ortu setuju maka dilanjutkan untuk “obrolan’obrolan teknis” pernikahan (waktu, tempat, siapa panitia dll).
- Menikah. Jika lancar, ya anda dan calon menikah!
-
(Sebetulnya proses ini sudah saya
dengar sejak masa kuliah, khususnya ketika saya aktif di Keluarga Islam Seni
Rupa ITB. Namun, entah kenapa gengsi masih memenuhi pikiran saya, “yaelah masa
cari calon juga dibantuin orang sih” Berbeda dengan teman2 saya di organisasi,
mereka umumnya langsung memutuskan lewat jalur tersebut, sementara saya mencla
mencle. *Intermezzo dikit. )
Entah bagaimana, Beberapa waktu,
setelah saya berfikir untuk memutuskan hal tersebut (sekitar awal 2016),
seorang teman lama di kampus menghubungi saya dan ia menawarkan untuk
dikenalkan ke seorang temannya yang siap menikah untuk proses taaruf. Bisa
kebetulan begini, jadinya saya langsung mengiyakan. Saya pun dikenalkan ke
beberapa calon, namun karena berbagai pertimbangan saya memutuskan tidak
berlanjut, baik karena sayanya tidak sreg, maupun memang ditolak (lagi). Sampai
usaha ke sekian, akhirnya saya membaca CV dengan cover warna ungu.
Sekarang sedikit bercerita dari
sisi istri saya. Saya skip juga cerita dari jaman sekolah dan kuliah.
.pworweproweproweporwperowporeprwoerwpor (bunyi lagi di fast forward).
Istri
saya juga dulu sudah berniat menikah pasca menyelesaikan studi S2 nya di
Reading, Inggris dan mulai bekerja di Jakarta Dibandingkan saya, doi lebih
banyak lagi ikhtiarnya dalam mencari calon. Ia sempat dikenalkan oleh teman2nya
dan melangsungkan kopi darat untuk berkenalan dengan beberapa cowok, kemudian
juga pernah dikenalkan beberapa pemuda oleh ibunya. Namun proses beberapa kali
tersebut merasa belum ada yang cocok. Selain itu, doi pun sempat mencoba
berbagai aplikasi media sosial, lewat FB hingga aplikasi T*nder untuk mencari
calon. Namun somehow selalu berakhir tidak cocok. Doi berfikir bahwa nampaknya
lebih baik kalau mencari calon dengan mediator agar ketemu yang juga siap nikah
dan bs mengeksplor pribadinya. Doi memandang agak susah mengeksplor pribadi
orang tanpa mediator.
Kemudian, suatu waktu, Doi
bergabung dengan sebuah komunitas di FB yang merupakan kumpulan “emak
emak” lulusan ITB. Ada postingan dari seseorang yang menawarkan untuk
difasilitasi mencari calon. Doi mulai
lah menghubungi nomor kontak (yang ternyata orang yang sama dengan yang
mengontak saya) tersebut dan dimulai lah ikhtiar lewat taaruf. Melalui
mediatornya ini, Ia pun sempat ditawari beberapa calon, namun belum ada yang berhasil
hingga membaca CV dengan foto seorang pria berkacamata dan memakai kaus
berkeringat.
2. PROSES AWAL
TAARUF/PERKENALAN
Ya, akhirnya kami bertukar CV
sekitar bulan April 2016 untuk dipelajari dan masing2 merasa cocok, sehingga
diputuskan bertemu pasca lebaran untuk menyesuaikan dengan jadwal mediator kami
pulang ke Indonesia (mediator berinisial AAZ ini tinggal dengan suami dan
anaknya di Jepang, dalam rangka menyelesaikan studi S3 suaminya). 10 Juli 2016 saya dan Mili ketemu
pertama kali di di sebuah gerai kopi waralaba, Margo City, Depok. Pada
pertemuan tersebut kami pun dapat melihat penampakannya langsung,
berbincang-bincang dan saling bertanya berbagai hal baik pertanyaan dari CV,
isu-isu terkini, visi pernikahan hingga pertanyaan ngalur ngidul.
Setelah pertemuan itu, kami
diberi waktu 2 minggu untuk memutuskan apakah lanjut atau tidak. Masing-masing
pun berpikir2 dan mempelajari kembali CV nya, serta “mensosialisasikan” ke
orang tua masing-masing.
Taaruf menjadi metode yang cukup
asing di keluarga saya, sehingga ketika saya memutuskan dan memperlihatkan CV
calon saya itu, komentar-komentar “penuh ingin tahu” pun muncul seperti:
-
“kamu gak ikut aliran anu itu kan?”
-
“Kamu
yakin pakai cara ini?”
-
“ Yakin gak, calon sesuai yang ditulis?”
-
“aku gak bisa buat CV kayak gini” (Ayah saya
dari dulu belum pernah melamar pekerjaan pakai CV, karena dari kuliah
freelance, langsung dipanggil kerja, dan sekarang wirausaha, karena itu yang
dilihat malah soal CV nya haha)
Setelah bertanya-tanya soal calon
di CV ini, Pada akhirnya Alhamdulillah, orang tua saya mempersilahkan saya
untuk menjalankan proses ini, dan jika udah suka silahkan lanjut saja dengan
syarat “Jangan cepet-cepet ya, Kenali dulu!”. Okee, pah, mah!
Di keluarga istri saya, metode tersebut
juga cukup asing dan muncul pertanyaan-pertanyaan yang kurang lebih sama. Akhirnya
pun saya dan istri memutuskan lanjut.
3. PERKENALAN LEBIH LANJUT, LAMARAN dan PERNIKAHAN
Setelah memutuskan lanjut, kami
pun berkorespondensi via email (dengan di cc ke mediator) untuk semakin
memperdalam kepribadian masing-masing. Kami pun memperkenalkan dengan keluarga
masing-masing. Saya diajakan makan siang dengan keluarga doi, dan saya juga
mengajak doi makan siang dengan keluarga saya. Kemudian juga diadakan kunjungan
keluarga saya ke rumah doi, dan keluarga doi ke rumah saya agar makin mengenal
kondisi dan budaya keluarga masing-masing.
Alhamdulillah, setelah proses
tersebut, kami makin merasa cocok, masing-masing keluarga juga oke dan kami
memutuskan lanjut. 24 September 2016, saya pun melamar secara informal kepada
orang tua doi. Agar dapat mempersiapkan dan juga karena ayah doi sedang dalam proses
penyembuhan dari sakit, maka diputuskan pernikahan akan dilangsungkan pada 8
bulan lagi, yaitu 21 Mei 2017. Pada kesempatan berikutnya pun diputuskan untuk acara
lamaran pada Januari 2017.
Persiapan resepsi diputuskan
untuk diselenggarakan oleh kedua belah pihak. Tidak dapat dipungkiri bahwa
pertemuan 2 keluarga yang berbeda latar belakang bertemu dalam mengurus
keluarga pasti ada sedikit negosiasi dan diskusi (yang saya yakin pasti terjadi
pada setiap pernikahan) tetapi Alhamdulillah, Singkat cerita (lagi), Alhamdulillah,
acara lamaran terlaksana dengan lancar, dan setelah persiapan teknis sekitar 6
bulan, acara pernikahan kami juga terlaksana dengan lancar. saya dan doi telah
sah menjadi pasangan suami istri. Tidak hanya saya dan istri, tetapi pernikahan
kami pun juga “menikahkan” 2 keluarga besar kami.
Yah begitulah kurang lebih
ceritanya. Pasca pernikahan seringkali saya berfikir bahwa saya gak pernah
berfikir bahwa jodoh saya ternyata rumah keluarga kami berdekatan (sama2 di
jakarta selatan), waktu kuliah, gedung kuliahnya sebelahan (tapi pas kuliah gak
pernah ketemu dan kenal), kakaknya doi temenan ama sepupu saya, mertua kakaknya
doi ternyata sepupunya tante saya, temennya doi juga temen-temen saya juga,
saya di Bandung, doi di Jakarta dan dipertemukan sama mediator yang tinggal di
Jepang. Gak masuk logika kadang. Bisa aja kan gw dipertemukan sama Raisa (si penyanyi),
dan doi dipertemukan sama Hamish. Ya mungkin itulah kuasa Allah yang bisa
mempertemukan dua insan yang belum saling kenal sebelumnya ini.
Ya perjalanan kami dalam
mengarungi rumah tangga masih panjang. Mohon doanya dari temen2 semua agar kami
dapat menjadi keluarga yang Sakinah, Mawadah, Warahmah dan diliputi keberkahan.
AMINNNN.
Untuk yang baru atau sedang akan
mencari jodoh, ayo terus berusaha sembari terus memperbaiki diri.Insya Allah
akan diberikan yang terbaik.
Terima kasih.
Pasca Akad |
MC suruh nyium kening, maksudnya biar romantis tapi (liat foto berikutnya) |
Paesnya beleber jadi "jenggot" tambahan haha. |
Sesi foto pasca Resepsi |
sesi foto dengan mediator kami berinisial AAZ |
Tambahan:
Tambahan, mungkin ini saya coba membuat perbandingan metode yang lazim dikenal di kalangan umum versi saya sendiri, yaitu taaruf dan pacaran. Setau saya Belom ada definisi baku tapi ya kurang lebih seperti pada tabel. Debatable kok, Boleh setuju boleh gak.
No
|
Perbandingan
|
Taaruf *
|
Pacaran **
|
1
|
Output?
|
Menikah
|
- Menikah
- Selain menikah
|
2
|
Status pelaku?
|
Siap menikah
|
- Siap menikah
- Belum siap menikah
|
3
|
Mediator?
|
Ada
|
- Ada atau,
- tidak
|
4
|
Kepastian rentang waktu saat proses perkenalan (sampai keputusan lanjut serius menikah atau tidak)?
|
Ada dan Ditentukan kedua belah pihak
|
tidak ada
|
5
|
Setelah menjalani proses perkenalan tp merasa tidak cocok?
|
Boleh langsung diberhentikan prosesnya
|
Putus
|
5
|
Boleh selfie bareng saat proses perkenalan?
|
Tidak. Karena belum ada kepastian jadi menikah atau tidak.
|
- Boleh
|
6
|
Ketemu berdua sama calon?
|
Tidak boleh. Kecuali ada urusan2 yang bener2 penting.
|
- Boleh
|
Catatan:
* Berdasarkan pengalaman pribadi dan melihat proses yg terjadi pada temen2
** (berdasarkan asumsi pribadi, melihat proses temen2 dan melihat fenomena di masyarakat)
Komentar
Posting Komentar