Langsung ke konten utama

Lingkungan Kondusif, Prestasi Melimpah

Beberapa waktu lalu saya mendengar video rekaman wawancara pesepakbola legendaris Inggris yang sedang berkunjung ke Jakarta, yaitu David Beckham yang diwawancarai oleh presenter kesohor tanah air, Najwa Shihab pada tahun 2018. Dalam wawancara tersebut, Beckham diminta memberikan opini tentang sepakbola Indonesia yang masih kesulitan berprestasi di kancah internasional. Yang menarik, ia menjawab yang kurang lebih  :

“Dari pengalaman saya bertahun-tahun bermain sepakbola di dunia, saya adalah orang beruntung yang bertumbuh besar di dunia yang percaya akan sistem akademik yang memberikan kesempatan pemain muda untuk bisa jadi pemain profesional. Banyak negara dengan pemain dan tim di dunia yang tidak memiliki infrastruktur seperti itu dan disanalah akar masalahnya. Harus dimulai dari level akar rumput, dari dasar, membawa mereka dari sana, memberi kesempatan ke anak-anak. Saya menghabiskan waktu cukup lama di Indonesia dan menurut saya, orang-orang Indonesia berbakat. Seharusnya anak2 ini diberi kesempatan yang cukup untuk menghidupkan mimpi mereka, Maka dari itu, infrastruktur, sistem pembelajaran sepakbola adalah investasi yang harus dilakukan.“

Sukses tentunya impian setiap manusia. Sukses dalam artian sejahtera secara finansial, karirnya berkembang, dan lebih ideal lagi dapat hidup dari bidang yang ia cintai. Tentu saja kesuksesan dapat diraih dengan kerja keras dan kerja cerdas seseorang. David Beckham menjadi salah satu contohnya. Dengan usahanya ia dapat berkarir di klub-klub bola papan atas Eropa dan Amerika Serikat. Namun ada faktor lainnya yang membantu kesuksesan, yaitu  lingkungan. Lingkungan dalam artian, dalam konteks wawancara tersebut, yaitu kebutuhan dasar terpenuhi, sistem pendidikan dan kompetisi yang berjalan dan tertata dengan baik sejak usia muda yang disederhanakan dengan istilah infrastruktur. Dengan tersedianya infrastruktur tersebut maka jalan menuju kesuksesan sudah terbuka dari sejak muda. Sisanya masalah nasib.

Untuk negara-negara maju yang beruntung tersebut, secara umum pemain sekelas David Beckham dapat “diproduksi”  secara berkelanjutan karena sudah mapannya infrastruktur tersebut. Tidak heran negara-negara macam Inggris, Jerman, Prancis, Belanda liganya jadi panutan dunia dan negaranya sudah langganan masuk Piala Dunia, bahkan menjuarai. Lalu bagaimana negara-negara berkembang yang saat ini belum beruntung memiliki infrastruktur tersebut? Secara umum bisa kita simpulkan untuk “memproduksi” pemain sekelas David Beckham memiliki peluang atau kemungkinan yang sangat rendah dan tidak berkelanjutan. Akibatnya ya tentu saja prestasinya rendah.

Kenapa bisa terjadi hal tersebut? Bayangkan saja ketika remaja Inggris misalnya, sejak SD sudah ingin jadi pemain Bola, mereka sudah bisa masuk klub bola dengan sistem pendidikan yang sudah baik, liga yang sudah jalan, sistem rektrutmen base on performance, dan sebagainya. Dan juga sudah ditopang dengan standar gizi dan kesejahteraan yang cukup.

Sementara, pada suatu negara berkembang, misalnya sejak SD ingin jadi pemain bola, klub bola tidak banyak tersedia, sistem pendidikannya belum tertata, hingga sistem rekrutmen yang tidak adil, nepotisme dan sebagainya. Jangankan yang masih amatir ingin menjadi profesional, yang potensial menjadi profesional saja bisa redup karena sistem yang carut marut tersebut.  Ditambah masalah gizi dan sebagainya.

Gampangnya, jalan untuk menjadi “David Beckham” berikutnya penuh hambatan yang terjal. Kalau di Inggris hambatannya 10 misalnya , sementara di negara berkembang bisa 50. DI Inggris misalnya hambatan 10 itu udah full urusan pengembangan diri di sepakbola. Makanya dari 100 anak muda, yang berhasil jadi pemain bola mungkin sekitar 80 orang. 

Pada negara berkembang ada 50 hambatan, 10 di urusan sepakbola, 40 lagi urusan non teknis lainnya (sistem yang carut marut dan sebagainya). . Akibatnya, mungkin dari 100 anak yang ingin jadi pemain bola, maka bisa berkurang menjadi 5 orang, sehingga talent kurang, entah akibat tersingkir karena hambatan-hambatan tersebut atau keburu nyerah karena keluarganya sudah mewanti-mewanti jangan jadi pemain bola karena tidak menjanjikan.

Yang satu kondusif untuk berkembang, sementara yang lain tidak kondusif untuk berkembang. Dari ilustrasi tersebut dapat dibayangkan gap antara negara maju dan negara berkembang dalam urusan sepakbola. Maka tidak heran mengapa negara-negara maju cenderung sukses di urusan sepakbolanya, Hal ini menurut saya juga terjadi di bidang lainnya seperti ekonomi, teknologi dan sebagainya.

Intinya adalah, kalau negara yang bisa membuat lingkungan yang kondusif untuk berkembang untuk warganya maka negaranya akan maju. Sementara negara yang belum bisa membuat  lingkungannya kondusif, maka ya negaranya akan stagnan atau mundur.  

Dari sini saya baru lebih memahami salah satu peran institusi negara atau pemerintah, yaitu membuat lingkungan negara atau daerahnya kondusif untuk berkembang. Kondusif dari segi keamanan, pemerataan pendidikan, kesempatan, dan sebagainya yang pada intinya bagaimana caranya menguntungkan masyarakat dan dalam jangka panjang akan bertumbuh dan berkembang untuk negaranya.

Kalau dari tingkat negara atau pemerintah belum bisa menjamin “kekondusifitasan” ini entah karena incapable leader, maraknya konflik kepentingan dan sebagainya, maka ya kemungkinan besar menghadapi berbagai gejala seperti ketimpangan kualitas sumber daya manusia dan ekonomi, talent bagus tidak banyak berkembang dan akhirnya pindah ke negara atau daerah yang lebih dianggap kondusif, dan tentu saja performa negaranya jadinya stagnan, tidak berkembang.



Referensi :



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Camp On Farm : Melihat Langsung Proses Pengolahan Biji Kopi

Berawal dari sebuah obrolan singkat dan diajak oleh seorang teman, saya memutuskan untuk mengikuti acara  Camp on Farm yang diadakan  Agritektur (sebuah komunitas yang concern di bidang pangan. CMIIW ) . Camp on Farm telah diadakan beberapa kali sebelumnya dengan mengunjungi berbagai lokasi pengolahan bahan makanan. Kini Camp on Farm yang  diadakan pada tanggal 21-22 Juni 2014 mengunjungi sebuah Kebun Kopi di Gunung Puntang, Jawa Barat. Melalui acara ini kita diajak untuk melihat secara langsung proses pembuatan kopi dari mulai pemetikan hingga penyajian di atas meja makan. Sebetulnya saya bukan seorang Coffee Geek yang tau mana bedanya kopi enak dan enggak (wawasan saya cuman luwak white coffe aja haha). Namun, berlandaskan keingintahuanlah yang membuat saya ikut. Hari I  Setelah sekitar 2 jam perjalanan dari Bandung menggunakan minibus, kami disambut oleh beberapa orang yang tergabung dalam koperasi bernama Klasik Beans Cooperative . Dan ternyata koperasi yang beranggotaka

Belajar Leadership dari “Band of Brothers”

Leadership (kepemimpinan) menjadi salah satu topik yang gw perhatikan sejak sekitar 5 tahun terakhir. Sebetulnya mungkin jauh sebelum itu. Alasan gw tertarik bukan karena gw tipikal “ leade r banget” gitu, tapi justru gw defaultnya kurang banget jiwa kepemimpinannya. Karena itu gw selalu coba belajar untuk bisa meningkatkan kapasitas kepemimpinan gw. Tiba-tiba timbul pertanyaan dalam otak gw, kapan ya gw mulai tertarik, atau setidaknya aware bahwa ada topik atau ilmu soal leadership ? TK, SD rasanya gw gak banyak terpapar karena gw gak ikut paskibra dan sebagianya. Paling sempet tahu sedikit kalau bokap gw memimpin perusahaannya sendiri. Terus juga paling gw sempet inget gw pertama kali jadi pemimpin upacara adalah saat SD. Atau tahu kalau tim bola ada kaptennya. Tapi tetap gak ngerti esensinya.  Setelah gw inget-inget lagi, kayaknya gw mulai aware sekitar SMP. Bukan dari kegiatan sekolah, bukan dari buku, tapi dari mini-series yang gw tonton, yaitu “Band of Brothers” .  Bagi pecint

MEMPERTAJAM KONSEP DESAIN DENGAN DESIGN REQUIREMENT & CONSTRAINT (DRC)

Catatan: Bukan tulisan ilmiah. Jadi mungkin gak valid buat bahan referensi karya tulis ilmiah Masih perlu dilengkapi sumber referensi                                     Pengaplikasian teori pada tulisan ini sangat kondisional, tergantung jenis produk, kondisi perusahaan dan lain-lain. Mungkin dalam kondisi tertentu keseluruhannya bisa dilakukan, atau sebagian saja. Sebagai sebagai desainer (khususnya desainer produk) mungkin anda pernah mengalami situasi kebingungan ketika anda ditugaskan oleh atasan/klien anda untuk mengembangkan suatu produk tanpa arahan yang jelas, umumnya arahannya hanya "buatin dong konsep desain yang bagus yang keren", "buatin dong desain yang bisa laku dipasar"dan sebagainya. Akibatnya, desain yang diinginkan tidak memiliki arah yang cukup jelas sehingga desainer menjadi terlalu "liar" dalam membuat konsep dan mungkin terjebak dalam eksplorasi bentuk dan sketsa saja. Akibatnya, desain dari sejak konsep me