Langsung ke konten utama

10 Penghambat Menjadi Wirausahawan dan Lesson Learned


Menjadi entreprenur sempat menjadi cita-cita gw ketika kuliah. Ketika itu ada kuliah-kuliah bertema wirausaha sehingga gw pun termotivasi untuk bergelut di profesi tersebut.
Gw pun lulus kuliah sempat mencoba membuat usaha sendiri di bidang Apparel bareng beberapa temen gw. Namun keberjalanannya tidak cukup baik dan akhirnya gw memutuskan untuk berhenti dan kini saya menjadi karyawan. Meski masih penasaran dan masih tertarik dengan isu-isu entreprenur, gw mencoba merefleksikan diri apa sih hambatan yang membuat gw seolah gak bisa “lepas” dan all out menjadi entreprenur. 


10 PENGHAMBAT MENJADI WIRAUSAHAWAN 
Ada sekian alasan. Sebut saja Excuse atau mental block. Gw gak tau orang lain ngadepin ini apa gak. Tapi ya nyatanya gw ngadepin ini: 

1. Biar Keren
Gw cukup banyak kenal wirausahawan. Bokap dan kakak gw, beberapa sodara dan temen gw pun  adalah wirausahawan. Gw jujur selalu kagum pada kekerenan Wirausahawan dari sisi Kemandirian, Kepemimpinan, pola pikir yang holistik, kemauan untuk selalu berkembang dan kontribusinya untuk membuka lapangan kerjaan. Gw pengen banget keren kayak gitu. Wait. “Biar keren”? Nah disini gw sadar, motivasi entreprenur gw “biar keren” itu aja udah salah. Entreprenur pada akhirnya adalah bagaimana lo bisa membuat bisnis melalui produk dan jasa yang memiliki nilai tambah untuk masyarakat dan menghasilkan keuntungan finansial bagi perusahaan. Membuat bisnis yang secara mandiri bisa menghidupi lo dan karyawan lo. Tantangannya gak akan mudah, karena lo harus menjadi pemimpin perusahaan lo, menguasai segala lini ilmu yang berkaitan dengan bisnis, Mengambil peluang, berjejaring dan sebagainya. Hal-hal tersebut membuat gw sadar ternyata karakter gw bisa dibilang jauh dari situ. Setelah gw telusuri balik gw memang gak ada track record untuk mau dan nyoba jualan. Biar keren itu adalah motivasi yang buruk untuk menjadi wirausahawan karena mentalitas lo akan diuji benar-benar. Dan niat “biar keren” udah pasti gak akan bikin kuat bergelut dalam bidang tersebut.

2. Tinggal Bikin Produk Sebanyak-Banyak dan Sekeren-kerennya
Karena gw lulusan desain produk, pola pikir gw cenderung ingin membuat produk sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya. Pada awal-awal gw mulai mencoba bikin usaha, gw sempat mencoba konsultasi ke seorang pebisnis kawakan yang gw anggap sebagai mentor. Setelah menjeleskan sedikit konsep usaha gw, dia langsung bilang “Ketika lo bisnis, lo harus bisa memposisikan lo sebagai pebisnis, bukan desainer. Kalau desainer pola pikir lo cenderung bikin produk sebanyak-banyaknya. Kalau jadi pebisnis ya bagaimana lo membuat produk yang bisa bikin usaha lo profitable dan sustain. Harus bisa lihat dari berbagai sisi dan holistik. Market, finance, operation, produk dan sebagainya”. Dorr. Nah gw menyadari disitu, kesalahan gw, gw terlalu fokus pada bikin produk , tapi sisi lainnya banyak gw abaikan. Produk yang gw buat pun tidak mempertimbangkan kebutuhan dan besaran market yang jelas. Akhirnya ya bisnis gw gak pernah profitable dan bisa buat gw hidup. Memang sih, 2 tahun bukan waktu yang panjang buat bisnis lo profit, tapi mengubah pola pikir ini gw yang jadi kesulitan.

3. Gengsian dan Malu
Menjadi pebisnis menurut gw harus goal oriented. Lo harus bisa melakukan cara apapun agar tujuan lo tercapai (tentunya tidak melanggar hukum dan etika ya). Harus ketemu dan bernegosiasi dengan pihak lain, ngejar-ngejar dan menghadapi penolakan-penolakan, bahkan mungkin harus bekerja sama dengan yang lo anggap “musuh” atau beda prinsip karena kepentingan bisnis yang sama. Intinya rasional.  Gak bisa gengsi-gengsian dan malu-maluan karena goal oriented tadi. Nah ini dia, gw masih banyak gengsinya. Mau ketemu orang, gak dibales message gw, yaudah. “Males ah, gengsi diabaikan mulu”. Mau jualan di event X, “duh malu, kalau gak laku gimana?”, dan sebagainya. Bahkan ada kalanya gw malu make produk sendiri.  

Gw refleksi mundur, memang gw sejak kecil rasanya memang hampir gak pernah nyoba jualan. Mulai jualan baru pas kuliah, itu juga karena bantu temen gw nyelenggarain sebuah event. Jadinya mental berjualan gw sangat tidak keasah. Terlalu banyak gengsi dan malu.

Selain itu, pola pikir goal oriented dan rasional ini bisa metain, target lo apa, sumber daya lo seberapa, maka strategi lo apa. Nah ini harus full gak pake gengsi menurut gw, harus jujur. Sehingga strategi lo akan bener. Perusahaan lo belum gede, target lo bisa untung sebesar X, maka strateginya bisa jadi subkonnya perusahaan gede dulu. Dan seterusnya. Nah itu udah gak bisa gengsi dan malu. Kalau banyak gengsi dan malu “ah mana mau gw jadi subkon. Kita harus jadi yang terdepan. Perusahaan gw harus jadi kontraktor utama dsb”. Iya kalau perusahaan lo udah gede, kalau belum kan, perusahaan lo belum reputasi dan kepercayaan dan juga ada karyawan yang harus lo gaji, maka strategi lo harus rasional, goal oriented. Gitu lah ilustrasinya. Mudah2an paham.

4. Poor Financial Literacy
Wirausaha juga banyak berhubungan soal keuangan. Pebisnis harus bisa merencanakan keuangan dalam seminggu, sebulan, setahun bahkan bertahun-tahun. Duit masuk, duit keluar. Fix Cost, Variable Cost, mana revenue, mana profit, mana loss dan sebagainya. Tanpa kemampuan dan kepekaan ini, maka pebisnis ibarat pesawat gak punya Global Positioning System (GPS), lo gak tau posisi lo dimana, apakah mau karam, atau masih bisa survive, atau sedang menanjak. Kepekaan finansial ini yang menjadi tantangan lainnya buat gw. Tanpa kemampuan ini siapapun pasti gak bisa mewujudukan bisnisnya secara sustain dan growing. Dan gw termasuk yang telat sadar pentingnya kepekaan finansial. Baru sadar setelah gw bingung “ini usaha gw untung apa gak sih?”.

5. Gak Fleksibel
Menjadi wirausahawan harus fleksibel, gak bisa terlalu kaku dan idealis. Karena dunia wirausaha sangat dinamis. Mungkin pertama kali mulai bisnis, lo bisnis X. Di suatu waktu, Bisnis X ada kalanya lesu, maka mungkin harus mencoba bisnis Y dan seterusnya. Bisa jadi lo mulainya pengen jadi pebisnis di bidang X, tapi malah di bidang Y, karena rejekinya ada disitu. Fleksibilitas menjadi karakter yang diperlukan pebisnis. Fleksibel dalam arti, “ya lo gak terlalu fokus ke 1 hal banget, mungkin bisa memperlebar ke bidang lain yang masih ada hubungan dengan core bisnis lo”. Tapi ya bisa juga jadi palugada (apa lo mau gw ada). Menurut gw gak masalah, karena menjadi pebisnis, profit jadi pertimbangan krusial, disamping visi-visi yang ingin dituju. Ini juga menjadi kesulitan tersendiri buat gw, karena gw terlalu kaku untuk memandang peluang. Dibatasi sama “kesukaan” dan apa yang gw anggap “passion”.

6. Siap Bekerja Tanpa Batasan Waktu
Namanya wirausahawan,meski keliatan “wah enak punya kantor sendiri, bisa ngatur jadwal sendiri dong”, kenyataannya adalah jadwal anda akan diatur klien atau kustomer anda. Karena itu bisa jadi anda hari libur pun bekerja agar dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai tenggat waktu. Kalau bukan anda, sang pemilik perusahaan, siapa lagi yang mau menyelesaikan? Jika punya karyawan pun harus anda awasi. Lagi liburan pun, anda harus bisa ngontrol, telepon dan sebagainya. Kebiasaan gw selalu ingin Sabtu Minggu adalah libur dan gak boleh diganggu sama kerjaan. Kebiasaan yang gak cocok dengan dunia wirausaha.

7.Poor Business Leadership
Gw merasa udah cukup memiliki skill kepemimpinan (leadership) dengan berbekal pengalaman memimpin sebuah tim saat berorganisasi kuliah. Tapi memimpin tim dalam konteksi organisasi kuliah dan bisnis menurut gw adalah 2 hal yang beda. Kalau memimpin dalam organisasi di kampus lo gak ada kewajiban untuk menghidupi diri sendiri dan karyawan lo. Kalau dalam konteks bisnis, maka lo berkewajiban untuk menghidupi. Kalau gak bisa menghidupi mereka ya gak ada yang mau jadi karyawan lo. Sesederhana itu. Ini yang gw sadar, bahwa gw masih jauh sekali dari kemampuan tersebut.

8. Gak Visioner dan Ambisius
Menjadi wirausahawan juga sangat diperlukan kemampuan memprediksi apa saja yang dapat menjadi peluang bisnis, karena itu umumnya wirausahawan memiliki visi dalam membangun perusahaan. Peka melihat apa yang dibutuhkan orang lain menjadi dasar dalam menciptakan produk dan jasa yang profit. Nah gw, pada dasarnya agak egosentrik, jarang merhatiin perilaku orang agak kesulitan dalam menentukan apa sih yang dibutuhkan orang banyak dan bisa jadi bisnis? Nah sepertinya itu yang membuat pilihan  produk gw terlalu niche sehingga tidak terlalu layak secara bisnis. Dan gw gak punya bayangan lebih jauh lagi gimana ngembanginnya.

Kemudian, dalam mencapai visinya, wirausahawan harus punya ambisi yang kuat (dalam arti positif ya), alias kemauan keras dalam mewujudkan visinya. Kalau gak punya kemauan keras ya susah deh. Yang punya kemauan keras aja belum tentu berhasil, nah apalagi yang gak punya kemauan. Nah itulah gw, ambisi gw terlalus sedikit. Gak ngotot. Gak punya target.

9. Kelamaan Ngambil Keputusan
Peluang seperti Kerjasama bisnis, tawaran klien, potensi pasar dan sebagainya kerap membutuhkan waktu yang cepat untuk ditindaklanjuti karena dapat muncul tiba-tiba dan bisa hilang secara cepat. Karena itu, decision making (pengambilan keputusan) menjadi karakter yang diperlukan oleh wirausahawan. Kelamaan mikir dan gamang, membuat kepercayaan kustomer, klien hilang atau potensi pasar keburu disikat sama perusahaan lain. Banyak mikir adalah default karakter saya, makanya para wirausahawan yang pernah kenal  saya pasti bilang “kelamaan mikir lo”.

10. Gak Fokus
Pada akhirnya setiap bidang yang lo ambil harus lo jalankan dengan fokus. Ketika gw mulai nyoba bikin usaha, gw masih ada pikiran untuk kerja (karena memang rencana awal gw adalah kerja) sehingga jadi gak fokus, setengah-setengah. Akibatnya ya jadi kurang “All Out” aja usaha gw.  Karena itu sangat penting sekali mengambil keputusan dengan penuh tanggung jawab dan paham tantangan dan konsekuensi agar apa yang lo pilih bisa dijalani dengan sepenuh hati.  



Sebetulnya menjadi karyawan dari sebuah perusahaan adalah cita-cita awal gw. Walaupun sebenarnya saat ini gw udah sesuai cita-cita awal gw, gw masih ngerasa bahwa  gak ngelanjutin bisnis gw itu adalah “kekalahan” gw karena gw gak bisa “keren” kayak pengusaha-pengusaha sukses diluar sana. Gak bisa keren karena gw masih dihinggapi permasalahan yang gw tulis diatas. Ya lagi-lagi, jadi pengusaha bukan buat keren-kerenan, tapi ya pilihan hidup dengan berbagi konsekuensinya. Kalau konsekuensinya gak mau terima, ya jangan ambil pilihannya.


LESSON LEARNED
Meski begitu, gw merasa pengalaman gw pernah nyoba bikin usaha banyak dampak positif buat gw. Walau gak bisa buat hidup, Setidaknya udah pernah nyoba dan jadi bukti bahwa pernah mewujudkan ide menjadi usaha, produk dan berhasil menjual ke konsumen. Jumlahnya gak sedikit pula (Nyemangatin diri haha). 

Selain itu, meski Saat ini, gw memang jadi karyawan. Tapi gw selalu berusaha terinspirasi beberapa semangat wirausaha dan mengusahakan untuk selalu menjadi “Intrapreneur” di tempat bekerja gw, yaitu dalam bentuk: 

1.Keinginan Selalu Mengembangkan Diri
Esensi dari wirausahawan adalah kemauan selalu berkembang yaitu dengan selalu mencoba belajar hal baru, mencoba mengaplikasikan ilmu, Belajar dari Kesalahan serta mencoba insiatif dan proaktif dalam pekerjaan.
Kalau dikantor lagi gak ada targetan, gw selalu mengusahakan untuk bikin target-target sendiri buat pengembangan diri. Misalnya gw lagi nargetin bisa bikin tulisan tentang keprofesian 2 kali dalam sebulan,dan lain-lain. semuanya dalam rangka pengembangan diri.

Meski kadang ada beberapa rekan-rekan di kantor yang bingung “apaan sih lo terlalu semangat dan ambisius. Mo jadi pejabat lo?”. Yap, kantor gw memiliki budaya kerja yang “agak berbeda” dengan budaya wirausahawan. Itu jadi tantangan sendiri buat gw untuk beradaptasi.

2.Menghargai Sumber Daya
Ketika mencoba bikin bisnis, gw baru sadar bahwa sumber daya merupakan hal yang terbatas. Uang, Waktu and Fasilitas merupakan hal yang tidak selalu tersedia. Untuk uang, pas wirausaha gw inget betul dapetin 1 Juta Rupiah aja dalam sebulan susah banget. Kadang aneh, ketika kerja, gw merasa, “gw layak gak sih dapet gaji segini, rasanya gw gak banyak kontribusi”. Pemikiran aneh emang, sementara sebagian orang lain mungkin pengen dapet gaji segede-gedenya dengan kontribusi sekecil-kecilnya. 

Waktu juga menjadi sumber daya yang sangat gw hargai. Karena gw pernah ngerasain, waktu lowong itu adalah rejeki yang gak bisa diminta lagi. Karena itu ada kecenderungan kalau waktu kosong, khususnya di kantor gw mengusahakan untuk tetap melakukan hal-hal yang bisa ngembangin diri seperti baca buku, nulis, bongkar-bongkar file-file lama yang bisa dipelajari dan sebagainya. Dan juga selalu berusaha untuk tidak menunda-nunda atau memperlambat pekerjaan. Ini juga mungkin jadi kebiasaan gw yang malah aneh buat sebagian orang di kantor.

Soal fasilitas, gw mungkin sekarang lebih hati-hati dalam membeli barang. Dulu gw suka banget beli mainan. Namun setelah gw pernah tau ilmu wirausaha, sadar bahwa mainan lebih banyak jadi beban (sebut saja barang yang tidak produktif), bukan aset (barang yang bisa menghasilkan), jadinya gw sekarang udah ngurangin banget beli mainan. Apalagi ketika sudah berkeluarga. Jadi gak nafsu lagi sih. Haha.

3. Memahami Masalah Multi Perspektif
Nah ini hal yang sangat gw senengin dari pernah coba wirausaha. Karena selama wirausaha gw harus melihat bisnis secara holistik, dari segi market, finansial, produk dan sebagainya. Dampaknya, kemampuan melihat masalah secara multi perspektif sedikit terasah sehingga gw setidaknya bisa sedikit-sedikit melihat akar dari suatu permasalahan dan bagaimana hubungan-hubungan lintas bidang yang menyebabkan permasalahan tersebut.



Kira-kira itulah Sedikit curahan pikiran gw soal wirausaha. 

Tujuan gw nulis ini sebetulnya adalah disamping mengeluarkan isi pikiran, adalah untuk mencoba berdamai dengan diri gw sendiri. Meski bukan cita-cita utama gw, tapi ketika memutuskan menghentikan usaha gw tersebut merasa menjadi salah satu “kekalahan” di hidup gw. Ini membuat gw jadi agak kurang bersyukur dan mengganggu kepercayaan diri gw, padahal gw masih ada pekerjaan aja yang sesuai cita-cita gw sangat patut disyukuri. Lebay sih. Tapi ya gitu rasanya.

Kemudian, Diharapankan orang lain bisa belajar dari kesalahan-kesalahan gw tersebut. Khususnya yang mau jadi pengusaha. Kalau lo mau jadi pengusaha, tapi karakternya masih sama ama yang gw tulis diatas, mending pikir-pikir dulu. Lihat dulu ke karakter lo dulu. Tapi kalau mau “nyemplung aja” ya gak masalah. Cuman ya harus tahu terhadap berbagai tantangan dan konsekuensinya. 

Tahu konsekuensi dari pilihan yang lo ambil itu mungkin akan menentukan sustain atau gak di pilihan hidup lo. Mungkin.




Saat melayani pengunjung booth saya pada sebuah event tahun 2015




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Camp On Farm : Melihat Langsung Proses Pengolahan Biji Kopi

Berawal dari sebuah obrolan singkat dan diajak oleh seorang teman, saya memutuskan untuk mengikuti acara  Camp on Farm yang diadakan  Agritektur (sebuah komunitas yang concern di bidang pangan. CMIIW ) . Camp on Farm telah diadakan beberapa kali sebelumnya dengan mengunjungi berbagai lokasi pengolahan bahan makanan. Kini Camp on Farm yang  diadakan pada tanggal 21-22 Juni 2014 mengunjungi sebuah Kebun Kopi di Gunung Puntang, Jawa Barat. Melalui acara ini kita diajak untuk melihat secara langsung proses pembuatan kopi dari mulai pemetikan hingga penyajian di atas meja makan. Sebetulnya saya bukan seorang Coffee Geek yang tau mana bedanya kopi enak dan enggak (wawasan saya cuman luwak white coffe aja haha). Namun, berlandaskan keingintahuanlah yang membuat saya ikut. Hari I  Setelah sekitar 2 jam perjalanan dari Bandung menggunakan minibus, kami disambut oleh beberapa orang yang tergabung dalam koperasi bernama Klasik Beans Cooperative . Dan ternyata koperasi yang beranggotaka

Belajar Leadership dari “Band of Brothers”

Leadership (kepemimpinan) menjadi salah satu topik yang gw perhatikan sejak sekitar 5 tahun terakhir. Sebetulnya mungkin jauh sebelum itu. Alasan gw tertarik bukan karena gw tipikal “ leade r banget” gitu, tapi justru gw defaultnya kurang banget jiwa kepemimpinannya. Karena itu gw selalu coba belajar untuk bisa meningkatkan kapasitas kepemimpinan gw. Tiba-tiba timbul pertanyaan dalam otak gw, kapan ya gw mulai tertarik, atau setidaknya aware bahwa ada topik atau ilmu soal leadership ? TK, SD rasanya gw gak banyak terpapar karena gw gak ikut paskibra dan sebagianya. Paling sempet tahu sedikit kalau bokap gw memimpin perusahaannya sendiri. Terus juga paling gw sempet inget gw pertama kali jadi pemimpin upacara adalah saat SD. Atau tahu kalau tim bola ada kaptennya. Tapi tetap gak ngerti esensinya.  Setelah gw inget-inget lagi, kayaknya gw mulai aware sekitar SMP. Bukan dari kegiatan sekolah, bukan dari buku, tapi dari mini-series yang gw tonton, yaitu “Band of Brothers” .  Bagi pecint

MEMPERTAJAM KONSEP DESAIN DENGAN DESIGN REQUIREMENT & CONSTRAINT (DRC)

Catatan: Bukan tulisan ilmiah. Jadi mungkin gak valid buat bahan referensi karya tulis ilmiah Masih perlu dilengkapi sumber referensi                                     Pengaplikasian teori pada tulisan ini sangat kondisional, tergantung jenis produk, kondisi perusahaan dan lain-lain. Mungkin dalam kondisi tertentu keseluruhannya bisa dilakukan, atau sebagian saja. Sebagai sebagai desainer (khususnya desainer produk) mungkin anda pernah mengalami situasi kebingungan ketika anda ditugaskan oleh atasan/klien anda untuk mengembangkan suatu produk tanpa arahan yang jelas, umumnya arahannya hanya "buatin dong konsep desain yang bagus yang keren", "buatin dong desain yang bisa laku dipasar"dan sebagainya. Akibatnya, desain yang diinginkan tidak memiliki arah yang cukup jelas sehingga desainer menjadi terlalu "liar" dalam membuat konsep dan mungkin terjebak dalam eksplorasi bentuk dan sketsa saja. Akibatnya, desain dari sejak konsep me